Dream of Indonesia Part II




I'm Starting With The Man In
The Mirror
I'm Asking Him To Change
His Ways
And No Message Could Have
Been Any Clearer
If You Wanna Make The World
A Better Place
Take A Look At Yourself, And
Then Make A Change
(Man in te Mirror, Michael Jackson)

Sore ini, saat aku duduk di salah satu pusat perbelanjaan grosir di pusat kota Jakarta_menunggu Ibuku, tiba-tiba seorang wanita muda yang duduk di sampingku, mengajakku ngobrol ringan, Awalnya dia menanyakan tentang asal-usulku, bekerja dimana, sampai akhirnya dia menceritakan tentang kisah hidupnya perlahan demi perlahan, Wanita itu masih berumur 24 tahun, 5 bulan yang lalu dia datang ke Jakarta untuk mengais rejeki di Ibukota. Sebelum datang ke Ibukota, dia sempat bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga sampai kecelakaan saat ia bekerja menghentikannya. Dia jatuh dari tangga dan mengalami patah tulang dan operasi di mulutnya. Setelah menghabiskan 1 tahun untuk beristirahat di kampung halamannya di Tasikmalaya, akhirnya dia memutuskan untuk menerima ajakan temannya bekerja kembali sebagai PRT di Tangerang. 

Sayangnya, tak sampai sebulan dia harus berhenti karena fisiknya yang tidak mampu bekerja fisik terlalu berat dampak kecelakaannya tahun lalu. Sekarang, dia bekerja sebagai penjual kopi bersama dengan seorang janda beranak 6. Dia tinggal di satu kamar kost yang diisi dengan 8 orang. Dari penjualan kopinya, dia mendapat komisi seikhlasnya yang jika dikumpulkan 1 bulan akan lunas dengan biaya sewa kost dan makan 1x sehari. Bahkan dia tidak pernah punya cukup uang untuk ia gunakan sebagai biaya transportasi pulang kampung.

Tubuhnya yang kurus kering dibalut dengan kulit coklat tua seakan menjadi bukti kerasnya hidup wanita yang sejak usia 8 bulan telah menjadi yatim piatu itu. Menariknya, saat dia bercerita padaku seluruh kisah hidupnya, dia tidak berkeluh kesah, menyalahkan dunia, atau dengan kebencian. Baginya, seluruh kisah sulitnya itu adalah perjalanan biasa manusia untuk mencapai happy ending.

Meskipun dia tidak menceritakan betapa sedihnya ia, namun dia sempat menceritakan tentang sulitnya mencari pekerjaan hanya dengan berbekal ijazah Madrasah Ibtidaiyah. Selama beberapa bulan terakhir, dia terus mencari pekerjaan sebagai SPG di pusat grosir tersebut, namun sayangnya, untuk menjadi SPG dibutuhkan ijazah SMA.

Seluruh kisah hidup wanita itu, meskipun tidak ia ceritakan dengan kesedihan melainkan keceriaan yang sepertinya merupakan karakternya, tetap membuatku berfikir panjang. Ya, kenaifanku yang tak berbatas inilah yang membuatku tergeletik menulis bahwa, memang sungguh ada warga negara indonesia yang memiliki penghasilan dibawah Rp.10.000,- per harinya dan itupun ia harus bagi untuk makan bersama 7 perut yang lainnya, dan kadang ada hari dimana ia harus menyimpan laparnya sampai keesokan harinya, Hebatnya, dengan kemampuan fisik yang terbatas tidak membuatnya memilih pekerjaan sebagai pengemis yang kalau boleh aku bilang, memiliki penghasilan yang mungkin sedikit di atasnya.

Dari bagaimana dia bercerita_tidak ada satu kata negatifpun yang terluncur darinya. Dia tidak menyalahkan pemerintah yang membuat pendidikan dasar di Indonesia begitu sulit terjangkau baginya, tidak juga menyalahkan betapa mahalnya biaya hidup di Jakarta, tak juga menyalahkan sempitnya kesempatan kerja untuknya. Dia hanya terus berusaha, menggali dalam dirinya_potensi apapun yang ia miliki untuk terus hidup tanpa harus menyalahkan siapapun.

Meluncur dari tempat tersebut, aku terjebak dalam kemacetan khas hari sabtu di dalam taxi. Kebetulan, sopir taxi nya menyalakan radio yang sedang menyiarkan talkshow tentang bagaimana mengubah Indonesia menjadi lebih baik melalui tertib berlalu lintas. Tidak ada pilihan lain, daripada aku melamun, aku mengikuti talkshow tersebut. Talkshow tersebut bercerita tentang carut-marutnya lalu lintas di Jakarta, dari kebiasaan menyetir ugal-ugalan para sopir angkot dan metromini, budaya melawan arus saat kemacetan. menginjak gas kencang-kencang saat lampu lalu lintas menunjukkan lampu kuning, PKL yang memakan badan jalan penyebab kemacetan, polisi yang mudah disogok, birokrasi yang korup, dan sejuta benang kusut yang lain. Talkshow semakin menarik ketika ada penelpon yang mengatakan bahwa talkshow seperti itu sangat tidak berguna, percuma mengkritisi ketika no one hear and care to our input, and won't make any difference. Hanya membuang tenaga dan waktu, katanya.

Sang pembicara, menyetujuinya dengan cepat. Memang talkshow semacam itu tidak berguna karena tidak akan berdampak apapun pada budaya berlalu-lintas di jalan raya. Permasalahan di Indonesia sudah terra-kompleks hampir ada di seluruh sektor dan lapisan. Talkshow tidak akan berdampak apapun! Namun dengan talkshow tersebut, sang speaker berharap setidaknya dapat menumbuhkan setitik kepedulian pada para pendengar. Berawal dari keprihatinan dan berubah menjadi empati, kepedulian yang diharapkan dapat membawa perubahan. Bukan perubahan besar, namun perubahan pada masing-masing individu. Kepedulian tertib lalu lintas yang datang pada diri masing-masing orang, bukan hanya tertib karena takut bayar tilang ke pak polisi.

Apa yang speaker katakan berhasil membawa memoriku terbang ke 10 tahun yang lalu saat aku membaca tulisan mading sahabatku (dan tulisan itu kuingat sampai sekarang) yang ia sadur dari artikel di Intisari. Artikel sederhana mengenai budaya membuang sampah pada tempatnya. Di negara-negara maju, ketika kepedulian masyarakatnya sudah tinggi, membuang sampah pada tempatnya bukan karena dia takut didenda, takut dipermalukan oleh orang yang melihatnya buang sampah sembarangan, but only because (s)he simply care with the environment. Disiplin kecil dari seorang individu untuk obey the rule, kemungkinan besar akan menular kepada orang-orang yang ada di sekitarnya.

Contoh lagi adalah sahabatku yang lain, yang sangat disiplin membuang sampah pada tempatnya, bahkan ketika ia di dalam mobil, ia rela menyimpan sampahnya di dalam mobilnya daripada membuangnya ke jalan raya. Kedisiplinannya yang menginspirasiku untuk melakukan hal yang sama. Tidak perlu omelan darinya, hanya dengan melihat komitmennya pada lingkungan, membuatku ingin melakukan hal yang sama.

Seluruh kisah di atas yang terjadi hari ini, membuatku mengingat kembali apa yang tertulis dalam sebuah artikel yang tertempel di mading 10 tahun yang lalu. Bahwa perubahan kecil dimulai dari diri sendiri di lingkungan paling kecil, di kebiasaan paling mendasar. Sama halnya dengan wanita yang kutemui di pusat grosir,yang tidak pernah menyalahkan siapapun atas apapun yang terjadi, atau apa yang speaker bicarakan di radio, Sejenak mari kita berhenti menyalahkan orang lain atas hal buruk yang terjadi disekitar kita. Berhenti menyalahkan Pemerintah atas ketidakmampuannya menanggulangi kemacetan, banjir, kemiskinan, kekumuhan, tingat kejahatan yang tinggi! Mari kita memulai dengan hal yang paling sederhana dari diri kita sendiri, tidak takut kena tilang dengan cara mematuhi peraturan lalu lintas, membuang sampah pada tempatnya, bekerja tanpa menggantungkan harapan pada belas kasihan orang lain dan hal-hal kecil yang lain.

Kita tidak perlu berlomba untuk menjadi yang paling apatis diantara kaum apatis. Ketika melihat orang lain buang sampah sembarangan, mari kita berhenti mengikutinya dan berhenti berfikir bahwa 'orang lain aja buang sampah sembarangan, ngapain aku repot-repot nyari tempat sampah?'. Karena perbedaan kecil pada diri kita sendiri, meskipun saat itu terlihat tidak siginifikan, namun bayangkan jika semua orang berfikir seperti kita tadi, bisnis tempat sampah akan gulung tikar, petugas kuning akan kewalahan dan sejuta bencana lain karena sampah dari tangan kita sendiri.

Untuk memiliki Indonesia yang lebih baik, mari kita bertindak sekarang, rubah kebiasaan buruk kita, menjadi contoh bagi orang lain. Karena kalau bukan diri kita sendiri, siapa yang bisa kita harapkan untuk merubah Indonesia? Percayalah Batman tidak akan datang untuk menyelamatkan kota kita dan menginspirasi kita menjadi Robin, membantu sang Batman. Diri kita masing-masing-lah Batman itu.
Lets start for better Indonesia from a very simple behavior!!!
1st Objective : No more littering wherever I like for the rest of my life!!!!!!!
- Posted using BlogPress from my iPad

Kamu mungkin akan suka:
Dream of Indonesia Part I
Is It Jakarta, Capital of Indonesia save?
How to ride Busway in easy mode
Jakarta from Urbaners view

Comments

Popular Posts