Kisah Jakarta dan Genangan Airnya

Kamis, Jakarta 17 Januari 2013,

Ini adalah catatan pertama dan semoga yang terakhir mengenai Force Majeure yang kualami di Jakarta.
Pagi ini seperti biasa, hujan turun dengan sangat deras, kali ini disertai dengan petir yang menggelegar setiap beberapa menit. Hujan sudah turun terus menerus sejak hari senin, kecuali hari rabu namun itupun suasana Jakarta sudah hampir tidak bisa dibedakan dengan Fork, kota tempat vampir Edward Cullen tinggal, No sunshine, cloudy and mystique.
Berangkat kerja pukul setengah 7, tidak ada feeling apapun padahal biasanya aku termasuk orang yang mempunyai feeling cukup tajam...(but always wrong ;p). Jalanan di depan tempatku tinggal belum menunjukkan tanda-tanda akan banjir, namun di beberapa titik sudah tergenang air sampai semata kaki. Tapi hal ini merupakan pemandangan yang wajar bagi penduduk Jakarta, hujan berarti munculnya kolam dadakan dimana-mana. Bahkan kata former Gubernur Jakarta, kolam-kolam itu bukanlah banjir melainkan 'hanya genangan air' dan akan cepat surut.
Paradigma itu, entah karena ditanamkan oleh ex-gubernur tersebut atau memang sudah menjadi kepercayaan warga Jakarta, jadi setiap melihat genangan air walaupun sudah melebar, sepanjang ratusan meter, membuat warga Jakarta masih tenang dan berani. Ini bukan banjir, hanya genangan.

Akses dari Setiabudi-Suudirman tergenang
Menumpang busway, aku menembus 'genangan air' di protokol utama Jakarta, Thamrin-sudirman. Kebetulan beberapa titik sudah macet karena adanya genangan tersebut. Perjalanan yang biasa ditempuh hanya 30 menit menjadi 1,5 jam dikarenakan banyak pengendara yang masuk ke jalur busway menghindari genangan tersebut.

Sesampai di kantor yang terletak di kawasan utama Sudirman, aku menemukan lantai  tempatku bekerja yang lumayan kosong karena banyak teman yang tumbang di jalanan. Beberapa pesan masuk ke ponsel, mengabarkan bahwa teman A terjebak di Lapangan Banteng, teman B mobilnya mogok di pinggir kali yang akan melubar, teman C sedang menembus genangan setinggi 30cm dari tempat tinggalnya.

Sekali lagi, my alarm didn't ring. Ini wajar bagi orang Jakarta, hujan dan macet adalah teman abadi yang tidak terpisahkan di sini. Sama seperti warga surabaya menghadapi panas di musim kemarau kering, atau penduduk Malang menatap pembangunan luar biasa hutan ruko mengkapling sawah-sawah atau tanah kosong. 
Kemudian aku menyalakan TV, ada liputan dari stasiun TV yang selalu menyiarkan acara paginya di Wisma Nusantara, kebetulan yang sedang diliput adalah 'genangan' di Bunderan Hotel Indonesia.

Kebetulan buswayku tadi lewat bunderan HI, dan sepertinya dalam beberapa menit air di HI semakin naik, HI menjadi seperti kolam susu coklat jika dilihat dari atas. Tak lama beberapa foto menyebar secara sporadis dari smartphone teman-temanku, intinya Thamrin terendam, HI ditutup, Sarinah macet total, dan beberapa titik lainnya mulai mengalami hal yang sama, namun mayoritas blast mengabarkan tentang kondisi bunderan HI, jantung dari Indonesia. 

Awalnya. kami masih menganggap foto-foto tentang genangan itu lucu, seperti foto gerbang Glodok Mall yang terendam separoh, mangga dua yang aksesnya putus, dan banyak lagi. Needlessly to be hyprocite, aku dan teman-temanku adalah manusia yang hobi bercanda, and don't judge us karena kami melihat foto itu saat berada di lantai 8 gedung pencakar langit yang tak tersentuh banjir. Orang yang berada di posisi kami bisa dipastikan akan melakukan hal yang sama. Bukannya apatis, namun kami memiliki skala prioritas sendiri-sendiri dalam memikirkan sesuatu secara seriously. Atau mungkin kita hanya warga Jakarta biasa, cuek is the best way to survive. 

Saat itu pukul 10 pagi ketika aku melihat kolam parkiran kantor sebelah berubah menjadi danau dengan beberapa hiasan mobil di beberapa titik danau. Pikiranku, bukan kasihan pada mobil itu, namun aku memikirkan pasti akan sulit sekali mencari makan siang ini.

Karena warung belakang kantor sudah terendam air sejak hari senin, otomatis pilihannya adalah warung tenda di sebelah kantor, namun karena genangan pagi ini, tidak banyak penjual yang berbaik hati menyediakan makanan untuk para pemikir di kantor kami. Maka pilihan jatuh pada restoran-restoran mahal atau warung cepat saji di gedung belakang. Tak butuh waktu lama, aku meminta seorang OB pemberani (karena mau menembus hujan deras) untuk membelikan makanan bagi kaum-kaum dhuafa di perutku.

Sampai pukul 12 siang, ternyata OB pahlawanku tidak juga datang. Something is wrong.
Sambil menunggu, beberapa kali aku terus memantau perkembangan banjir di detik.com, genangan di bunderan HI tidak kunjung surut, bahkan bus Transjakarta tidak beroperasi. Pada detik itu Aku mulai memikirkan bagaimana cara aku pulang nanti, namun belum terlalu mendominasi pikiranku.
Setelah akhirnya makan siang pukul 1, karena kabar dari seorang teman, aku memutuskan untuk keluar dari kantor menengok kondisi genangan air di sekitar kantorku. Kebetulan langit sudah berhenti menangis, walaupun matahari terlalu malu untuk menampakkan diri dibalik awan-awan gelap. Sekali lagi aku memikirkan Edward Cullen dan kota Fork.

Berjalan ke belakang gedung, aku menemukan mesin pemompa air. Rupanya basement gedung belakang agak terendam juga. Baru itu aku terpikir parah juga ya genangan hari ini.

Kemudian mataku terhenti pada pemandangan di depanku. Akses dari Gedung Wisma 46-Hotel Shangri-la menuju ke perkampungan belakang telah terendam air sepanjang 50 cm, sementara di balik pagar pemisah dengan perbedaan ketinggian lantai yang kontras, terletak rumah perkampungan warga yang  terendam air sekitar 150 cm.

Saat itulah aku baru menyadari bahwa genangan kali ini tidak main-main. Ini bukan genangan air biasa yang akan surut dalam beberapa jam seperti kata ex-gubernur tersebut. If  I dare to say, ini adalah rendaman air a.k.a banjir.


Warga berusaha menyisir banjir menggunakan rakit darurat
Then, just at the time, really, my alarm was rang. Aku melihat hal yang selama ini hanya kulihat di TV yaitu perahu karet yang sedang berputar-putar sambil berpatroli, beberapa orang menggunakan rakit darurat sambil meneriakkan tawaran bantuan kepada para penghuni rumah-rumah itu, dan yang paling nyata adalah ekspresi dari penghuni rumah yang terendam banjir, dia hanya duduk di teras lantai 2 rumahnya, sambil menatap nanar genangan di bawahnya, mungkin pikirannya sedang berkelana atau melalui mulutnya yang tak bergerak dia sedang memanjatkan doa agar bencana ini segera berlalu.

Aku tidak bisa mendeskripsikan dengan nyata bagaimana perasaanku ketika berada di sana, menjadi saksi bencana dari genangan air saja. Perasaan yang tidak mungkin kualami ketika aku melihat berita banjir di televisi. Karena ketika melihatnya di TV, aku hanya melihatnya tanpa benar-benar merasakan, karena orang yang kusayangi tidak sedang menjadi korban banjir tersebut, berita itu hanya kuanggan sebagai berita.

Namun berada di sana, meskipun tidak ada siapapun yang kukenal berada di sana, aku tidak bisa untuk hanya menganggapnya sebagai kabar berita. Di sini aku mengerti pentingnya para pejabat untuk meninjau lokasi bencana, untuk ikut merasakan bencana tersbut dan berharap akan melakukan tindakan nyata untuk membantu (sementara kusingkirkan dulu negative thinkingku akan aksi pencitraan mereka).

Out of curious mengapa tadi OBku lama sekali mencari makanan, aku memutuskan mengunjungi mini market di dalam gedung, rupanya segala jenis mie instan dan roti telah sold out, begitu juga dengan obat untuk diare. AKu mulai merasakan kelangkaan makanan.

Tidak bisa berlama-lama karena hujan mulai menari lagi di atas tanah Jakarta. aku berlari ke kantor. Sangat terlambat bagiku untuk mulai memikirkan bahwa propaganda genangan air ini sangat menyesatkan. Aku mulai memikirkan bagaimana cara aku kembali ke tempat tinggalku mengingat beberapa jalur yang kutempuh sedang lumpuh total.

AKhirnya aku terobsesi akan berita banjir ini, saluran televisi tidak pernah tidak menanyangkan siaran langsung kondisi terkini banjit, sementara jemariku sibuk mencari berita dari twitter dan lewatmana.com. Tidak ada harapan, aku terkepung banjir.

Beberapa temanku sudah mulai pulang lebih awal karena lumpuhnya transportasi Jakarta, jasa ojek sedang laris manis dan harganya melambung tinggi. Beberapa yang tinggal nampak sibuk mendiskusikan tentang sejarah perbanjiran di Jakarta. Ada yang bilang tahun 2007 lebih parah, ada yang menyanggahnya. Beberapa teman intelek ku terpancing dengan siaran berita yang mulai menyalahkan pemerintah DKI yang tak kunjung menyelesaikan masalah banjir sejak Jakarta mulai didiami oleh gedung-gedung dan pemukiman mewah. ADa yang menyelahkan Pemerintah Bogor, yang mengizinkan puncak sebagai lahan resapan air dialihfungsikan menjadi kawasan wisata dengan return of investment yang jauh lebih tinggi.Sebagai mantan calon planner, aku dengan pengetahuanku yang terbatas mulai menganalisa mengapa banjir ini terjadi dan solusinya.

Banyak hal yang berlarian di otakku saat itu. Namun secara garis besar pikiranku praktis dan sederhana, dari dulu aku membenci para pembuang sampah sembarangan yang menganggap seluruh tempat di bumi ini adalah tempat sampah, jadi aku cukup kesal dengan mereka untuk melampiaskan kekesalanku pada banjir. Aku juga mulai kesal dengan pemukiman kumuh di sempadan sungai yang membuat sempadan sungai ciliwung dan anak-anaknya menjadi sempit. kemudian aku kesal pada para developer, kontraktor yang seenak udelnya meninggikan bangunan mereka tanpa memperhitungkan dengan baik aliran pembuangan air / irigasi. Dan dalam porsi kecil aku kesal pada pemerintah yang tampaknya tidak kunjung membuat masalah ini solved. Mengapa untuk yangterakhir porsiku kecil, karena bagiku itu sia-sia dan sangat membuang tenaga, tidak ada yang bisa merubah ruwetnya birokrasi pemerintahan Indonesia-yang sering disalahkan-dicatut namanya menjadi sumber dari segala keruwetan masalah apapun yang berkaitan dengan Indonesia.

Cukup menyelahkan pemerintah, maka kita bisa disebut idealis, sementara pada prakteknya kita turut memperuwet permasalahan karena tingkah laku sehari-hari kita yang ignorance.

Lelah mencari penyebab banjir, aku memutuskan mencari cara untuk pulang. Tepat pukul 5 kuputuskan untuk naik ojek motor dari depan kantorku. Pangkalan ojek itu terkenal dengan tarif premiumnya (layanan ekonomi). Sejenak aku ragu-ragu sambil menatap bus-bus transjakarta yang berhenti di tengah jalan Sudirman sambil berharap bus itu akan bergerak karena sorot mataku.

AKhirnya dengan merelakan ongkos 80 ribu (setara dengan tarif premium cab yang pernah kunaiki dengan rute yang sama). aku duduk di belakang tukang ojek yang sangat chatty. Dengan lihai dia menghindari titik-titik genangan sambil mengutuk rumah-rumah mewah yang ikut terendam. Rupanya banjir hari ini membawa berkah rejeki kepadanya, menurut dia sesekali dia boleh dong merasa lebih powerful daripada pemilik mobil rolls royce yang macet di jalan thamrin.

Setelah melewati rute tidak biasa, akhirnya pak ojek ku menyerah di titik Pusat perbelanjaan ELektronik Glodok yang terendam sekitar 50meter. Nampaknya air tak kunjung surut dari pagi, dan dia tidak mau meresikokan motor pencari uangnya. Turun dari motornya sambil ngomel, aku memutuskan naik angkot yang disopiri oleh pahlawan banjirku yang pemberani. Lumayan GLodok ke Stasiun Kota, ditempuh dengan nekat membelah genangan setinggi pinggang orang dewasa.





Sesampai di daerah stasiun Kota, sekali lagi mulutku ternganga. Kawasan Kota yang biasa ramai dan pikuk, kini seperti kota mati setelah terkena badai. Banjir setinggi 50 cm, dan sepanjang mataku memandang aku melihat pantulan ait sepanjang 400 meter ke depan.


Beberapa orang menawarkan jasa ojek gerobak, ojek sepeda untuk membelah banjir. Untuk beberapa menit aku terdiam sambil tidak mempercayai apa yang aku lihat. PAda detik itu aku merasakan ketakutan. Ini adalah pengalaman pertamaku merasakan takut pada apa yang kulihat di depan.




Kuputuskan untuk naik ojek sepeda dengan tarif 300% lebih mahal. Berada di belakang Bapak tak kenal lelah itu aku terdiam, tanganku membeku, hasrat fotografiku mati, mataku hanya terlalu sedih melihat apa yang di hadapanku.

Beberapa orang yang sepertinya penduduk setempat tampak berjalan menebus banjir, membawa galon air, atau sekedar pergi ke tempat yang ia tuju. Apa yang terjadi?

Sesampai di tempat tinggalku, aku melihat antrian pembeli nasi goreng sudah meluber kemana-mana. Hanya ada 1 toko makanan yang buka, sementara penghuni rumah sekitar sudah hampir 12 jam terkurung di dalam rumah mereka sendiri karena banjir memasuki lantai dasar mereka.

Suarapun sunyi senyap. Hanya cahaya dari lampu temaram yang cukup menghibur hatiku, bahwa kota ini belum mati.

Sekarang Aku duduk di kamarku sambil sesekali menatap curah hujan yang sepertinya enggan untuk menyurut, dari kejauhan aku mendengar suara mesin penyedot air berderum. Pantulan cahaya di teras memantul pada permukaan air di lantai dasar yang mencapai 30cm.

Malam ini air tak nampak akan surut dengan hujan yang terus turun.
Kini aku kembali menata pikiranku, ide berada di tengah bencana tidak pernah sevivid ini dalam bayanganku. Dulu aku hanya berfikir tentang hal heroik yang bisa kulakukan untuk para korban bencana, kini dengan menjadi korban, otakku terus memikirkan tentang perutku yang berbunyi, stock makanan yang kosong, air keran yang berhenti mengalir, toilet umum yang mungkin bisa kucapai, dan sampai kapan aku akan terkurung dalam genangan air di tempat tinggalku.

So here I am, still amazed and questioning : why the hell they call it 'genangan air' instead of freakin' flood.

- Posted using BlogPress from my iPad

Comments

Popular Posts