Fastway to Heaven



Semalam aq mendapat telepon dari keponakanku yang baru saja memasuki dunia perkuliahan. Kebetulan dia memilih jurusan kuliah yang sama dengan aq (guess I'm her role model) jadi dia sering berkonsultasi dengan aq (agar tidak kecemplung dalam kesalahanku :D). Hebatnya (sekaligus sedihnya), keponakanku masih berusia 15 tahun dan sudah memasuki dunia perkuliahan. Dia mengalami kelas akselerasi selama SMP dan SMA sehingga ketika ia SMP dan SMA masing-masing hanya ditempuh 2 tahun.
Aq tidak meragukan 'kematangan' emosinya berkembang atau tidak, namun aq sedikit khawatir dengan pengalaman 'pergaulan' yang dimilikinya.
Dalam night-callnya dia bercerita : "Tante (fyi : dia anak dari sepupuku so I'm not that old to be called auntie hihihi), aku lagi sebel banget sama temen2 aq. Aq ga suka sama mereka, orang-orang malas dan curang!"
Sebagai tante muda yang bijaksana aq menjawab dengan tenang : "Koq gitu?kan kamu baru beberapa bulan masuk kuliah, masa udah musuhan ma temennya?"
Kemudian dia mulai nyerocos panjang bagaimana teman-temannya hobi mencontek dia saat quiz, bagaimana teman-temannya 'lelet' dalam mengerjakan tugas kelompok, bahkan ada yang tidak mau mengerjakan sama sekali sehingga semuanya dia yang mengerjakan dengan cepat dan tepat, namun kekurangan kerja sama membuat kelompok mereka tidak mendapatkan nilai tertinggi, dan dia benci tidak menjadi top of the class.
Seluruh keterangannya, membuatku mengingat pada satu orang di masa kuliahku. Hampir sama seperti keponakanku, ada seorang temanku yang tidak terlalu bersosialisasi dengan teman-temannya, walaupun dia sangat-sangat pintar, namun membuat kami semua malas mengajaknya dalam 1 kelompok dalam mengerjakan tugas.
Mudah sekali bagi aku-dan teman-temanku untuk memutuskan 'mengasingkan' seseorang yang 'berbeda' cara belajar dan bergaulnya dengan kami saat itu. Kurangnya (baca: tidak adanya) keinginan aq dan teman-temanku untuk sedikit saja membantunya beradaptasi dengan cara 'hidup' kami anak kuliahan (baca : maen, nyontek, SKS, tapi IPK tinggi :p) membuatnya semakin terasing dan bahkan hingga sekarang ketika kami berkumpul2 kembali, ketidakadaan temanku itu bukan merupakan 'bigloss' buat kami.
Tentu saja aku tidak ingin keponakanku menjadi orang yang diperlakukan seperti temanku dulu. Seseorang yang SO (study oriented) menjadi terasing di dunia yang berbeda dengannya. Namun, dengan berjalannya dengan waktu dan otakku cukup berkembang sementara kebijaksanaanku semakin tinggi (please do not hesitate to puke), aku mulai berfikir bahwa lingkungan pendidikan yang seperti itu kejam.
Masih ingat dengan kasus yang terjadi di Surabaya dimana seorang wali murid dimusuhin seisi sekolah karena dia bertindak sebagai whistle blower dengan melaporkan indikasi kecurangan dimana sang anak dipaksa ngasih contekan ke seluruh kelas dan dia menolak. Terlepas dengan kisah itu benar atau tidak (karena antara wali murid dan sekolah saling menuding dan mengelak), namun admit it!!!kisah itu nyata di dunia pendidikan.
Teman yang pelit ngasih contekan adalah musuh jamaah. Bahkan kalau qta kejam, qta bisa bullying dia dan memaksa untuk mencontek. Bagi sebagian besar murid, bersekolah adalah tempat untuk bergaul, bersosialisasi, bukan untuk mengenyam pendidikan formal. Atau mungkin karena sistem pendidikan yang membosankan yang membuat qta malas untuk belajar dan membuat qta lebih memilih mencontek? Well, aq tidak menyalahkan sistem pendidikan qta maupun kebiasaan qta yang turun menurun. Tapi inilah manusia qta, menyukai jalan yang cepat untuk meraih keuntungan.
Sebagai referensi, walaupun aq belum pernah bersekolah di LN, tapi ketika aq bertanya pada teman yang pernah mengenyam sekolah dari SD hingga S1 di Luar Negeri, praktek mencontek di sana ada tapi bukan common habit bahkan termasuk shame habit. Mulai kecil, qta dididik untuk menjadi mandiri, bertanggung jawab akan output yang dihasilkan. Kalau qta ga belajar, tidak mendengarkan, there are consequences- hasil ujian yang buruk, tidak lulus bukan malah mencari fastway to heaven dengan mencontek teman yang pintar. Sehingga mereka dari kecil benar-benar dididik dengan symbol " you are output of what you've done"
Bagaimana dengan qta?? hingga kuliahpun qta masi rely on our friends. Teman qta yang pintar beberapa juga harus merelakan hasil jerih payahnya untuk dicontek agar mereka tetap memiliki teman. But wait, bagaimana dengan outputnya?
Nyata, teman-teman kuliahku, yang memang dari dulu bekerja dengan keras dalam mengerjakan tugas dan ujian, mereka adalah manusia yang cepat lulus dan cepat mendapat kerja. Bagaimana dengan mereka yang sebaliknya? mereka telat mendapat kerja bahkan ada beberapa yang belum lulus kuliah (its so 8 years ago).
Qta sering percaya bahwa keberhasilan adalah hasil dari keberuntungan. Sometimes kita terlalu mengandalkan kata-kata 'kalo rejeki ga bakal kemana', 'ngapain belajar, i'm lucky bastard' sehingga membuat qta malas. Kalo boleh mengutip kata-kata dari Toyotomi Hideyoshi salah satu tokoh besar di Jepang dimana dia adalah anak petani miskin yang bisa menjadi wakil shogun Nobunaga, baginya keberuntungan merupakan kesempatan yang datang ketika siap. Sesuatu akan menjadi keberuntungan ketika memang benar-benar telah menyiapkan diri qta untuk meraih kesempatan itu. Ketika suatu kesempatan datang dan qta belum menyiapkan diri dalam hal kemampuan, maka kesempatan itu akan menjadi sia-sia.
Well, kembali pada a telephone call from my niece, aku hanya bisa menjawab dengan memberikan dia gambaran akan temanku yang terasing itu, apalagi dalam jurusanku dari semester 1 hingga 8, there's no way we cant work alone, selalu kerja kelompok, jika dia terlalu strict maka dia tidak akan punya teman. Tapi aku juga bilang pengalamanku dimana ketika aq memberikan seluruh pekerjaanku pada temanku dalam bentuk softcopy dan dia menconteknya 99% (dia hanya mengganti nama), akulah menjadi manusia yang rugi karena dosen memberiku nilai C, sementara temenku yang (kelihatan) baik-baik dikasi B. The point is boleh ngajarin teman, lebih bagus ngajarin caranya, bukan hasil akhirnya biar dia tidak terasing.
Walaupun hal tersebut sangat bertentangan dengan nurani qta untuk membentuk org lain mau bekerja sama kerasnya dengan qta, tapi itu merupakan jalan tengah-win-win solution yang bisa qta tempuh.
Well, mungkin anak-anak Indonesia terlalu banyak melihat doraemon, dan berharap jadi nobita. Tidak perlu belajar, cukup memiliki doraemon maka hidup akan bahagia. But the matter is : Is it Doraemon real? answer it by your self ;p
Posted using BlogPress from my iPhone

Comments

  1. i would like to say thank u for this information, now i realize that some kind of Indonesian people were like to bully his own friend. but, u have to know that your "bullying" can made your friend stronger to face this cruel world. even if i don't know how about your friend future but, you have to remember that life cycling as a bumerang, if you throw away it will come back to you means if you can made your friend have a tough life, someday maybe yo will face the same condition, if it is not you, it can give to your heir. i m not curse you, just remind you that GOD never slept.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts